Hari ini lagi kangen sama menulis. Tapi masih belum ditahu topiknya ini bermanfaat atau tidak. Mengapa? Karena sifatnya tentang perasaan. Hehehe. Maklumlah, penulisnya cewek. Jadi, gimana ya, kayak ada baper-bapernya gitu. Maaf ya. Tulisannya ‘nyampah’ nih.
Oke. Dimulai dari pikiran yang terus-menerus berkutat sama yang namanya tesis, ujian hasil, ujian tutup, dan deadline pendaftaran wisuda. Harapannya sih semoga dapat wisuda September 2016. Tapi, belum ditahu ya, apakah bisa dikejar atau tidak. Namun, dari lubuk hati yang paling dalam, I DEEPLY WANT IT. Aameen. Aameen. Aameen.
Terlalu banyak underpressure yang diciptakan diri sendiri. Padahal kalau dari orang tua tidak terlalu menuntut ini itu. Tapi namanya anak kan, ada peka-pekanya juga. Hehe. Kalau masih bisa diusahakan sampai titik terakhir, ya why not.
Lama juga tidak menulis, akibatnya alur tulisan ini serasa amburadul. Soalnya belum dapat inspirasi yang WOW sih. It is OK. Agak (sok) sibuk akhir-akhir ini, jadi mohon dimaklumi saja ya.
Paragraf ini dimulai dengan gejolak pikiran antara tesis dan perasaan. Antara masa depan dan ‘masa depan’. Tidak jarang harus ada air mata yang menetes secara diam-diam. Entah ketika bersujud menghadapNya, waktu lagi bawa kendaraan atau lagi di dalam kamar. *tabongkar kartu AS. Hahaha. 😀 Jika diingat-ingat, seperti hendak tertawa yang kemudian tiba-tiba diam, hening. Dari kemarin-kemarin, hati saya terlalu sensitif, bisa dibilang sensitif lain-lain. 😀 Tiba-tiba bisa aja langsung nangis. Lihat sahabat nikah, nangis. Ketemu pak guru (ayah), nangis. Cuma di depan orang tua aja yang sok tegar, sok senyum manis, sok kuat, sok semuanya deh. Hehehe. Masalahnya kalau nangis di depan mereka, gimana yaa. Saya merasa tidak pantas. Sudah cukup nangisnya waktu kecil minta dibelikan ini itu, padahal saat itu lagi suasana krisis moneter. Ckckck. Maaf, Ma Pa. Kemarin masih bandel-bandelnya, masih main ego tingginya. Kalau sekarang, gak tahu deh. Hehehe.
Kemarin dan Sekarang itu adalah dua hal yang berbeda. Dari bentuk katanya saja sudah beda. Apalagi maknanya. Yang sama adalah pelakunya. Ya, saya. ‘Kemarin’ yang melakoninya adalah saya, dan ‘Sekarang’ masih saya juga. Terlalu banyak hal yang mau diadukan, terlalu banyak yang mau dikeluhkan, dan terlalu banyak yang mau diceritakan dalam tulisan ini. Ya sudahlah, mungkin masih kurang pantas untuk merangkai isi kalimatnya di sini. Mungkin lebih bagus dibiarkan berceceran menjadi kepingan-kepingan puisi atau sepenggal kalimat galau anti baper. 😀
Yang intinya itu, Ning. Harus semangat!!! Kata Prof. Hakim, ‘Semangat dulu yang harus disemangati.’
Saya tidak menyalahkan keadaan. Kesendirian bukan hukuman, melainkan persiapan. Untuk membenahi diri, kata orang supaya jadi lebih baik. Katanya begitu. Terus, kata Om, saya tidak boleh mengecewakan orang tua (nasehatnya seperti ada pahit dan manisnya e). Saya sih, in sha Allah, Om. Tapi kayaknya sudah banyak tingkah laku saya yang sudah membuat mereka kecewa. Tapi, mungkin tidak terdeteksi saja. Sebaik apapun saya sebagai anak, tidak bakalan mampu mengganti kebaikan orang tua selama membesarkan saya hingga jadi anak yang begini. 😀
Mau cerita tentang perasaan. Ehm. Iya, perasaan. Tapi, ini arah-arahnya bakalan tidak sempat deh. Pesona orang tua masih terlalu dominan untuk tidak disisihkan. Bukan pencitraan ya, readers. Cuma gimana ya. Kita semua tahulah rasanya sebagai anak yang sedikit sadar tentang siapa diri kita yang menaruh penuh hormat dan sayang kepada mereka, orang tua kita. Jadi, saya tidak perlu berkomentar kiri kanan. Menceritakannya pun saya bisa saja menjadi speechless. Lagian, saya belum menjadi anak baik seutuhnya. Masih belajar juga dan bakalan berproses terus, mudah-mudahan berprosesnya menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Aamiin.
Allah memberikan salah satu hadiah terindahNya tanggal 28 April 2016 untuk saya, ujian seminar usul penelitian. Ya, dua minggu setelah 14 April kemarin. Alhamdulillah. Satu langkah telah terlewati untuk menuju tahap-tahap selanjutnya. Terima kasih untuk para gadis di foto ini yang telah meluangkan waktunya menghadiri seminar saya hingga selesai. 🙂 Semoga kita dapat berwisuda bersama-sama ya. Secepatnya lah kalau perlu. Aamiiin. 🙂
Alhamdulillah, alhamdulillah. Tahap awal yang rasanya sulit sekali untuk berada di titik ini. Namanya juga mahasiswa tingkat akhir, harus penuh dengan pengorbanan dan perjuangan. Kan datang ke Makassar untuk belajar, bukan to do nothing. Ya kan? Sulit karena memang kesalahan saya sendiri. Sebagai mahasiswa itu memang sudah harus menyiapkan diri tentang apa yang mau diteliti untuk di semester akhir nanti. Bukan pada saat sudah semester akhir baru memulai mencari-cari masalah penelitian. Akibatnya? Seperti saya. Yaa, terkesan agak sedikit terlambat karena waktu ujiannya berada di penghujung April.
Hari-hari menjelang ujian, perasaan terasa tidak tenang, tidak bersemangat, galau dan segala hal negatif lainnya. Rasanya seperti belum siap saja. Syukurnya, masih ada teman-teman yang mau merangkul untuk jalan bersama-sama. Iya, Ucha, Kak Sahlim, Kak Asdar, dan Kak Satang. Sebelum menjelang hari ujian, kami latihan presentasi. It’s very helpful. Kami yang kadang berlakon secara bergantian sebagai pembimbing dan penguji, ada canda tawa di sela-sela latihan, dan banyak masukan saran dan kritikan yang diperoleh selama latihan. Semuanya memberikan kenangan tersendiri selama proses menuju ujian proposal. Kalau ujian hasil, kita latihan bareng lagi ya. Aamiin.
Tiba di hari H, alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik. Thank you bantuannya, teman-teman. Kak Sahlim dan Echa yang udah repot-repot ngurus kue, Ucha yang sibuk urus makanan dan ngasih bantuan ke saya selama presentasi, Sofyan dan kak Fay yang udah ngangkat sedos air mineral, Eman yang udah pagi-pagi harus ke Holland ngambil roti, Riri yang udah repot jadi seksi dokumentasi, Dina yang udah bantu statistik di proposal. Oh iya, Kak Arni, Idha, Kak Satang, Desty, Aya, Inna, Kk Fitri, Ussy, Kak Deasy, Kk Yandri, Hikma, Kak Isra, Nila, Dian, Kiky, Kak Rossi dan Vivy yang stay sampai saya selesai seminar, juga Kak Asdar yang datang terlambat. Thank you thank you, gaes. Hehehe. Memiliki sahabat, teman seperjuangan seperti kalian itu rasanya gimana ya. Speechless dah. Thank you for supporting each other.
Walaupun masih banyak perbaikan sana-sini, saya masih harus tetap semangat. Ini belum akhir perjalanan. Masih awal, Ning. 🙂 Harus kuat. Tapi, sekuat-kuatnya Nining, tetap akan nangis juga. 😀 Gimana nggak menangis, selesai seminar, ada SMS dari Pak Sekprodi di Baubau, kata beliau, “SEMANGAT.” Langsung saya telpon beliau. Eh, tiba-tiba Beliau manggil Pak Pardi untuk bicara sama saya. Gimana gak terharu dan sedih. Kalau ingat wajah dan senyuman Pak Pardi selalu rasanya pengen nangis aja. Hati saya terlalu sensitif mungkin. Jadinya cengeng. Ning Ning. Senang sekali mendengar suara-suara riang dari ruangan prodi bahasa Inggris di sana, iya walaupun cuma berbicara dengan Pak Pardi, Pak Baharuddin Adu, Dianti, dan Iphank. Itu sudah hal yang lebih dari cukup dari mereka yang menyayangi saya. :’)
Terlepas dari semua hal di atas, ada dua sosok yang paling care terhadap saya. Mereka yang berdoa untuk keberhasilan saya di ujian ini, tapi tak terpublikasikan. Mereka yang khawatir akan kegusaran saya menjelang hari ujian, tapi selalu dan tak pernah bosan memberi nasehat membangun untuk diri saya. Mereka yang masih mau berkorban untuk saya hingga mencapai di titik ini. Maaf, Ma Pa. Masih ujian proposal, itupun masih banyak yang harus direvisi. Mudah-mudahan bisa secepatnya diselesaikan dengan baik. Makasih, Ma Pa. :’)
“Usia 25 tahun bukanlah hal yang menakutkan untuk dianggap sebagai seseorang yang sudah cukup tidak muda lagi. Sudah saatnya dituntut dewasa dalam berpikir dan bertindak. Lebih bijak dalam menjalani hidup yang konteks permasalahannya semakin rumit. Ini tentang tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang-orang terkasih. Tentang orang-orang yang telah mendampingi hidup saya selama 25 tahun, calon pendamping hidup, dan masa depan.” (Little Syafitri – 14 April 2016)
Tawwa, Gugel. Care-nya sama saya. Terharuku. Hehehe…
Hello, 25! Seperempat abad ya di tahun ini, tahun 2016. Alhamdulillah masih diberi umur panjang untuk menambah amal kebaikan sebagai bekal di akhirat kelak walaupun dosa saya kayaknya lebih banyak dari semua kebaikan yang dilakukan selama ini. Mohon ampun, Allah. I am not a perfect servant.
Well, dua puluh lima ya? Tidak terasa. I’m 25 years old now. This is like something special. Yaa, walaupun cuma lewat tulisan saja tapi this post will be a part of my life history. Thank you, blog. Udah nemenin sejauh ini, dari saya masih ababil sampai setua ini. Hehehe. You can imagine how this blog can save me, 2009 – present.
This moment becomes a sign that human being grows and develops. Banyak pengalaman yang telah dilewati hingga menginjak usia 25 tahun ini. Dari segi fisik, saya memang udah stop perkembangannya, tingginya semampai (semeter tak sampai). Udah cukup. Mau diapain juga udah kayak begini, little little imut. Tidak jarang saya sering disangka masih muda-muda ababil. Baru-baru ketemu senior di mushala trus kami membahas masalah jodoh, pernikahan, dan usia. Eh, saya disangkanya masih umur 22 tahun. Itulah, kadang faktor tinggi badan yang semampai dan muka baby face dapat menjadi pelindung di usia yang sudah *ehm* dewasa ini. Yang penting sehat walafiat, tidak cacat agar maharnya tak kurang. 😀
Dari segi pengetahuan, lebih fokusnya sih mengarah ke pengetahuan tentang pelajaran hidup, tentu sudah banyak input yang masuk sehingga dapat menjadi bekal untuk ke depannya nanti dalam menyelesaikan masalah dengan lebih bijak lagi. Ya, seperti kata Kahn dan Wright (1980) dalam bukunya “Human Growth and the Development of Personality”, seiring pengetahuan kita bertambah, maka masalah yang kita hadapi juga akan semakin rumit. Entah hasil masalah itu membahagiakan atau menyedihkan, who knows. Yang pasti, tiap orang akan mengalami kedua pilihan itu, happy or sad.
Dalam menyambut usia 25 tahun ini, saya sedikit mengadakan survey kecil-kecilan terhadap 23 teman sebagai respondennya, lebih rincinya 21 orang berstatus single dan 2 orang berstatus married. Tujuannya adalah saya ingin mengetahui bagaimana persepsi responden tentang usia 25 tahun, ya lebih khususnya teman-teman di lingkungan sekitar saya. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka lebih menganggap bahwa berada di usia 25 tahun itu sesuatu yang patut disyukuri (sebanyak 24%) dan sesuatu yang biasa saja (24%). Wow, dua hal yang berlawanan dalam same percentage. Persepsi ini disusul dengan pendapat mereka yang mengatakan bahwa usia 25 tahun itu amazing (16%).
Juga, dari survey itu sendiri, ada 3 (tiga) jawaban terbanyak yang menjadi faktor penyebab mereka beranggapan seperti demikian.
Pemikiran tentang masa depan (37%)
Tuntutan hidup untuk lebih dewasa (29%)
Keadaan yang masih sama seperti di usia sebelumnya (12%)
Menurut saya, anggapan usia 25 tahun itu merupakan suatu kesyukuran dan feel amazing karena dua faktor tersebut, yaitu pemikiran tentang masa depan dan tuntutan hidup untuk lebih dewasa. Telah muncul kesadaran dari diri sendiri tentang who and how we are. Nah, di sini sudah terbentuk sikap orang dewasa. Berlakulah apa yang dibilang Kahn dan Wright (1980), “adult life is the stage when individuals are expected to be able to take responsibility for their own care…. In the adult stage of life, people are expected to take responsibility for their owns selves, for their children, for their own old age which is yet to come, and perhaps for the care of older people who are part of their present family.”. Ada tanggung jawab yang dimiliki untuk masa depan, seperti tanggung jawab terhadap orang tua; terhadap diri sendiri, bagaimana menjadi seorang pribadi yang lebih mature lagi hingga kita dapat berpikir dan bertindak dengan cara yang tepat dan bijak terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita; tentang karir agar tercipta kemandirian secara finansial; dan tentang jodoh, pernikahan, keluarga dan anak.
Sedangkan, usia 25 tahun merupakan hal yang biasa saja, ini diakibatkan oleh keadaan yang masih sama seperti di usia sebelumnya. Pendapat saya, hal ini terjadi karena beberapa respondent saya memang masih berstatus single, sifatnya easy going saja sama apa yang mereka hadapi sekarang dan karena rata-rata masih berada pada tahap pendidikan formal jadi pemikirannya masih belum mengarah ke respon tentang hal-hal yang lebih serius, jodoh misalnya. 😀
Selain menanyakan persepsi tentang usia 25, saya juga meminta responden untuk mengutarakan harapan yang hendak ingin dicapai pada usia 25 tahun ini dan hasilnya adalah: (*jawaban diambil yang hanya bersifat dominan)
Tentang jodoh (24%)
Tentang peningkatan kualitas diri (21%)
Tentang keproduktifan diri hingga terjadi finansial yang mandiri (14%)
Tentang kebahagiaan orang tua (10%)
Tentang kesuksesan studi (10%)
Berdasarkan lima harapan yang secara garis besar dikemukakan para responden yang keseluruhannya adalah wanita, ya sepertinya sudah seperti ini juga harapan saya di usia 25 tahun ini.
Tentang jodoh, ini menandakan bahwa dalam menjalani hubungan antara pria dan wanita, ada keseriusan di dalamnya. Tidak lagi pacaran sekedar have fun saja dan just for getting status kalau kita bukan jomblo. No, it is about relationship for future.
Tentang peningkatan kualitas diri. Ya, setiap orang menginginkan dirinya menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Semua yang buruk, diikhlaskan saja. Ambil hikmahnya. Yang baiknya, dipertahankan dan atau ditingkatkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Semua-semuanya kan ibadah untuk Allah. Selalu saja teringat pesan Pak Kahar, apapun yang kita lakukan (dalam hal kebaikan), sifatnya adalah ibadah kepada Allah.
Ada keinginan sendiri ingin memiliki pekerjaan yang baik, bagus, dan mapan hingga akhirnya bisa menghasilkan uang dari keringat kita sendiri. Dari teman-teman seumuran yang saya temui, mereka merasa sudah tidak pantas lagi kalau harus meminta uang dari orang tua. Kayak ada rasa malu kalau masih harus meminta. Udah seusia seperti ini masih bergantung sama orang tua. Iya, mereka hebat-hebat ya. Sudah bisa produktif, sudah punya kerjaan, punya uang sendiri, trus dinikmatin. Yaa, Alhamdulillah lah. Semoga nanti saya dapat mengikuti jejak mereka, setelah lulus kuliah. Aamiin.
Kebahagiaan orang tua. Bagaimana caranya orang tua bisa bahagia dengan adanya kita di samping mereka. Ya, menurut pribadi saya adalah menjadi anak yang baik, patuh kepada mereka, belajar yang baik di sekolah, care sama kondisi rumah, dsb. sudah buat hati mereka tenang. Kemarin-kemarin saya belum sepenuhnya sadar dan peduli tentang perasaan mereka, hingga muncullah omelan-omelan teguran dari orang tua, tentang inilah, tentang itulah. Tapi, semakin ke sini, saya agak mulai sadar. Oh iya, saya harusnya begini, kalau nanti posisi saya menjadi orang tua dan anak saya tingkah lakunya tidak sesuai apa yang seharusnya, pasti kan saya ngomel-ngomel lagi. Masih ingat apa yang sering dibilang sama mama, “Kalian belum rasakan karena belum punya anak.” Nyess. Itulah, tapi sekarang kan udah 25, udah bisa berpikir tentang hal-hal terbaik apa yang harusnya dilakukan untuk kedua orang tua. Maaf, Ma, Pa. Ning banyak salah e.
Terakhir, tentang kesuksesan studi. Iya, jawaban ini mungkin didominasi oleh para ladies yang notabenenya masih menjadi seorang mahasiswa. Semangat untuk S2 dan praktik kedokterannya, gaess… Insya Allah kita dapat melewati hal ini bersama-sama. Demi dia dan si buah hati. Hahaha. Actually, we are wonderful women, right? Persoalan keberhasilan studi bukan cuma faktor intelegensi akademik, namun semuanya tergantung rezeki yang dikasih Allah. Sekuat apapun keinginan ingin menyelesaikan studi, tapi jika belum dikasih jalan sama Allah, mau bagaimana. Sama, kayak saya. Mau sekalimi maju ujian seminar proposal, tapi terhalang oleh sesuatu hal. Mau bagaimana. We cannot force. Tetap berdoa saja sama Allah, Ning. In syaa Allah dimudahkan. Ingat, Ning. Allah tidak pernah salah atas kejadian yang menimpa umatNya.
Oke. Finish. Sorry, artikel kali ini lumayan puanjanggg…
Terima kasih untuk segala partisipasinya, teman-teman. Ini merupakan salah satu bentuk hadiah teman-teman ke saya secara tidak langsung. Happy 25 years old.
“Semakin saya sadari kalau hidup itu butuh perjuangan. Tidak ada yang instan. Tidak ada hasil yang baik kalau tidak berusaha. Dan jangan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, masing-masing punya jalannya. Yang penting kita selalu meliat ke depan dan bergerak maju. …. Sekarang itu bagaimana caraku bisa hidup dan menghidupi.” (NSS – 9416)
“Usia 25 tahun bukanlah hal yang menakutkan untuk dianggap sebagai seseorang yang sudah cukup tidak muda lagi. Sudah saatnya dituntut dewasa dalam berpikir dan bertindak. Lebih bijak dalam menjalani hidup yang konteks permasalahannya semakin rumit. Ini tentang tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang-orang terkasih. Tentang orang-orang yang telah mendampingi hidup saya selama 25 tahun, calon pendamping hidup, dan masa depan.” (Little Syafitri – 14 April 2016)
Tawwa, Gugel. Care-nya sama saya. Terharuku. Hehehe…
Hello, 25! Seperempat abad ya di tahun ini, tahun 2016. Alhamdulillah masih diberi umur panjang untuk menambah amal kebaikan sebagai bekal di akhirat kelak walaupun dosa saya kayaknya lebih banyak dari semua kebaikan yang dilakukan selama ini. Mohon ampun, Allah. I am not a perfect servant.
Well, dua puluh lima ya? Tidak terasa. I’m 25 years old now. This is like something special. Yaa, walaupun cuma lewat tulisan saja tapi this post will be a part of my life history. Thank you, blog. Udah nemenin sejauh ini, dari saya masih ababil sampai setua ini. Hehehe. You can imagine how this blog can save me, 2009 – present.
This moment becomes a sign that human being grows and develops. Banyak pengalaman yang telah dilewati hingga menginjak usia 25 tahun ini. Dari segi fisik, saya memang udah stop perkembangannya, tingginya semampai (semeter tak sampai). Udah cukup. Mau diapain juga udah kayak begini, little little imut. Tidak jarang saya sering disangka masih muda-muda ababil. Baru-baru ketemu senior di mushala trus kami membahas masalah jodoh, pernikahan, dan usia. Eh, saya disangkanya masih umur 22 tahun. Itulah, kadang faktor tinggi badan yang semampai dan muka baby face dapat menjadi pelindung di usia yang sudah *ehm* dewasa ini. Yang penting sehat walafiat, tidak cacat agar maharnya tak kurang. 😀
Dari segi pengetahuan, lebih fokusnya sih mengarah ke pengetahuan tentang pelajaran hidup, tentu sudah banyak input yang masuk sehingga dapat menjadi bekal untuk ke depannya nanti dalam menyelesaikan masalah dengan lebih bijak lagi. Ya, seperti kata Kahn dan Wright (1980) dalam bukunya “Human Growth and the Development of Personality”, seiring pengetahuan kita bertambah, maka masalah yang kita hadapi juga akan semakin rumit. Entah hasil masalah itu membahagiakan atau menyedihkan, who knows. Yang pasti, tiap orang akan mengalami kedua pilihan itu, happy or sad.
Dalam menyambut usia 25 tahun ini, saya sedikit mengadakan survey kecil-kecilan terhadap 23 teman sebagai respondennya, lebih rincinya 21 orang berstatus single dan 2 orang berstatus married. Tujuannya adalah saya ingin mengetahui bagaimana persepsi responden tentang usia 25 tahun, ya lebih khususnya teman-teman di lingkungan sekitar saya. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka lebih menganggap bahwa berada di usia 25 tahun itu sesuatu yang patut disyukuri (sebanyak 24%) dan sesuatu yang biasa saja (24%). Wow, dua hal yang berlawanan dalam same percentage. Persepsi ini disusul dengan pendapat mereka yang mengatakan bahwa usia 25 tahun itu amazing (16%).
Juga, dari survey itu sendiri, ada 3 (tiga) jawaban terbanyak yang menjadi faktor penyebab mereka beranggapan seperti demikian.
Pemikiran tentang masa depan (37%)
Tuntutan hidup untuk lebih dewasa (29%)
Keadaan yang masih sama seperti di usia sebelumnya (12%)
Menurut saya, anggapan usia 25 tahun itu merupakan suatu kesyukuran dan feel amazing karena dua faktor tersebut, yaitu pemikiran tentang masa depan dan tuntutan hidup untuk lebih dewasa. Telah muncul kesadaran dari diri sendiri tentang who and how we are. Nah, di sini sudah terbentuk sikap orang dewasa. Berlakulah apa yang dibilang Kahn dan Wright (1980), “adult life is the stage when individuals are expected to be able to take responsibility for their own care…. In the adult stage of life, people are expected to take responsibility for their owns selves, for their children, for their own old age which is yet to come, and perhaps for the care of older people who are part of their present family.”. Ada tanggung jawab yang dimiliki untuk masa depan, seperti tanggung jawab terhadap orang tua; terhadap diri sendiri, bagaimana menjadi seorang pribadi yang lebih mature lagi hingga kita dapat berpikir dan bertindak dengan cara yang tepat dan bijak terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita; tentang karir agar tercipta kemandirian secara finansial; dan tentang jodoh, pernikahan, keluarga dan anak.
Sedangkan, usia 25 tahun merupakan hal yang biasa saja, ini diakibatkan oleh keadaan yang masih sama seperti di usia sebelumnya. Pendapat saya, hal ini terjadi karena beberapa respondent saya memang masih berstatus single, sifatnya easy going saja sama apa yang mereka hadapi sekarang dan karena rata-rata masih berada pada tahap pendidikan formal jadi pemikirannya masih belum mengarah ke respon tentang hal-hal yang lebih serius, jodoh misalnya. 😀
Selain menanyakan persepsi tentang usia 25, saya juga meminta responden untuk mengutarakan harapan yang hendak ingin dicapai pada usia 25 tahun ini dan hasilnya adalah: (*jawaban diambil yang hanya bersifat dominan)
Tentang jodoh (24%)
Tentang peningkatan kualitas diri (21%)
Tentang keproduktifan diri hingga terjadi finansial yang mandiri (14%)
Tentang kebahagiaan orang tua (10%)
Tentang kesuksesan studi (10%)
Berdasarkan lima harapan yang secara garis besar dikemukakan para responden yang keseluruhannya adalah wanita, ya sepertinya sudah seperti ini juga harapan saya di usia 25 tahun ini.
Tentang jodoh, ini menandakan bahwa dalam menjalani hubungan antara pria dan wanita, ada keseriusan di dalamnya. Tidak lagi pacaran sekedar have fun saja dan just for getting status kalau kita bukan jomblo. No, it is about relationship for future.
Tentang peningkatan kualitas diri. Ya, setiap orang menginginkan dirinya menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Semua yang buruk, diikhlaskan saja. Ambil hikmahnya. Yang baiknya, dipertahankan dan atau ditingkatkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Semua-semuanya kan ibadah untuk Allah. Selalu saja teringat pesan Pak Kahar, apapun yang kita lakukan (dalam hal kebaikan), sifatnya adalah ibadah kepada Allah.
Ada keinginan sendiri ingin memiliki pekerjaan yang baik, bagus, dan mapan hingga akhirnya bisa menghasilkan uang dari keringat kita sendiri. Dari teman-teman seumuran yang saya temui, mereka merasa sudah tidak pantas lagi kalau harus meminta uang dari orang tua. Kayak ada rasa malu kalau masih harus meminta. Udah seusia seperti ini masih bergantung sama orang tua. Iya, mereka hebat-hebat ya. Sudah bisa produktif, sudah punya kerjaan, punya uang sendiri, trus dinikmatin. Yaa, Alhamdulillah lah. Semoga nanti saya dapat mengikuti jejak mereka, setelah lulus kuliah. Aamiin.
Kebahagiaan orang tua. Bagaimana caranya orang tua bisa bahagia dengan adanya kita di samping mereka. Ya, menurut pribadi saya adalah menjadi anak yang baik, patuh kepada mereka, belajar yang baik di sekolah, care sama kondisi rumah, dsb. sudah buat hati mereka tenang. Kemarin-kemarin saya belum sepenuhnya sadar dan peduli tentang perasaan mereka, hingga muncullah omelan-omelan teguran dari orang tua, tentang inilah, tentang itulah. Tapi, semakin ke sini, saya agak mulai sadar. Oh iya, saya harusnya begini, kalau nanti posisi saya menjadi orang tua dan anak saya tingkah lakunya tidak sesuai apa yang seharusnya, pasti kan saya ngomel-ngomel lagi. Masih ingat apa yang sering dibilang sama mama, “Kalian belum rasakan karena belum punya anak.” Nyess. Itulah, tapi sekarang kan udah 25, udah bisa berpikir tentang hal-hal terbaik apa yang harusnya dilakukan untuk kedua orang tua. Maaf, Ma, Pa. Ning banyak salah e.
Terakhir, tentang kesuksesan studi. Iya, jawaban ini mungkin didominasi oleh para ladies yang notabenenya masih menjadi seorang mahasiswa. Semangat untuk S2 dan praktik kedokterannya, gaess… Insya Allah kita dapat melewati hal ini bersama-sama. Demi dia dan si buah hati. Hahaha. Actually, we are wonderful women, right? Persoalan keberhasilan studi bukan cuma faktor intelegensi akademik, namun semuanya tergantung rezeki yang dikasih Allah. Sekuat apapun keinginan ingin menyelesaikan studi, tapi jika belum dikasih jalan sama Allah, mau bagaimana. Sama, kayak saya. Mau sekalimi maju ujian seminar proposal, tapi terhalang oleh sesuatu hal. Mau bagaimana. We cannot force. Tetap berdoa saja sama Allah, Ning. In syaa Allah dimudahkan. Ingat, Ning. Allah tidak pernah salah atas kejadian yang menimpa umatNya.
Oke. Finish. Sorry, artikel kali ini lumayan puanjanggg…
Terima kasih untuk segala partisipasinya, teman-teman. Ini merupakan salah satu bentuk hadiah teman-teman ke saya secara tidak langsung. Happy 25 years old.
“Semakin saya sadari kalau hidup itu butuh perjuangan. Tidak ada yang instan. Tidak ada hasil yang baik kalau tidak berusaha. Dan jangan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, masing-masing punya jalannya. Yang penting kita selalu meliat ke depan dan bergerak maju. …. Sekarang itu bagaimana caraku bisa hidup dan menghidupi.” (NSS – 9416)
Teringat perbincangan yang lalu bersama Kak Monica dan Kak Suaib di warung mace Fakultas Sastra Unhas setelah kelas yang menguras isi kognitif untuk bekerja. Tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Yang pada intinya, kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan tidak selamanya berlaku, khususnya dalam urusan rumah tangga. Tetap, laki-laki berada pada posisi tertinggi sebagai pemimpin, pemimpin rumah tangga.
Laki-laki sebagai suami yang peranannya untuk mendidik (to educate), dan wanita sebagai seorang istri yang tugasnya untuk mengajar (to teach). Itulah mengapa istri lebih cerewet ketimbang suami. Utamanya dalam membesarkan anak. Contohnya ketika seorang suami berdiskusi pada istrinya tentang suatu hal yang berkaitan dengan anak, maka sang istri akan menindaklanjuti hal tersebut kepada anak-anaknya dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami. Di sinilah, istri akan lebih banyak berbicara kepada anak-anaknya daripada suami. Sehingga, sebagai anak terkadang merasa ibu itu yang lebih sering berbicara dan bapak yang cenderung diam dan disegani.
*Tulisan ini bukan bersifat menggurui dan sok tua, namun ingin mengutarakan apa yang menjadi pendapat saya. Jika ada yang salah, mohon dibenarkan. Hanya sekedar memahami walaupun belum pernah mengalami sebagai pendamping “seorang pemimpin. ” 😀
Oke. Mungkin kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman hari ini ketika mengajar di kelas untuk suatu mata kuliah. Baru saja selesai.
Ini hari sangat menyenangkan. Saya memperoleh pelajaran hidup yang tidak ternilai harganya, boleh dikatakan mungkin akan menjadikan pembelajaran diri untuk lebih dewasa. Dan saya harus menyadari bahwa apa yang dikatakan Pak Supardi kemarin-kemarin BENAR. “Kita hidup ini siap disuka dan siap dibenci.”
Saya pikir semua pekerjaan itu tidak ada yang sulit dan tidak ada yang mudah. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan, kemudahan dan kesulitannya masing-masing. Termasuk menjadi seorang pengajar. Yang mengabdikan diri sebagai seseorang yang memiliki niat untuk memberikan apa yang ditahu kepada peserta didik. Demi kelangsungan hidup pengajarnya juga demi masa depan peserta didik itu sendiri.
Seorang pengajar dalam melaksanakan proses belajar mengajar (PBM) membutuhkan sebuah metode mengajar, lebih-lebih penguasaan kelas yang baik, juga Interaksi antara pengajar dan anak didik pun harus selaras alias harus saling mendukung. Sehingga PBM akan berjalan dengan sangat baik dan mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.
Seorang pengajar dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada di dalam diri, selalu saja memiliki peserta didik yang disenangi dan tidak disenangi, tergantung sikap mereka sebagai peserta didik ke pengajar. Peserta didik pun memiliki sifat yang sama. Ada yang memiliki pengajar yang disenangi dan tidak disenangi. Entah karena sifat atau metode pembelajaran yang kurang menarik, atau apa saja yang mendukung faktor kesenangan dan ketidaksenangan tersebut.
Dan hari ini, saya benar-benar mengerti, “Kita hidup ini siap dibenci dan siap disuka.” Mengubah seseorang yang membenci kita untuk menyenangi kita pun tidak mungkin. Dan nampaknya kita membutuhkan kebijaksanaan diri untuk menghadapi hal yang demikian.
Terkhusus kepada seseorang yang telah memberikan saya pelajaran hidup hari ini, terima kasih banyak untuk perlakuannya. Semua yang terjadi di kelas hari ini menjadikan saya lebih dewasa dalam bersikap. Terima kasih banyak.
Teruntuk kalian di kelas, belajar yang baik dan sepandai apapun kamu, ketika akhlak kalian tidak baik, maka hasilnya pun akan menjadi nol. Saya yakin kalian adalah mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi di dalam bidang intelektual maupun spiritual. 🙂
Oke. Mungkin kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman hari ini ketika mengajar di kelas untuk suatu mata kuliah. Baru saja selesai.
Ini hari sangat menyenangkan. Saya memperoleh pelajaran hidup yang tidak ternilai harganya, boleh dikatakan mungkin akan menjadikan pembelajaran diri untuk lebih dewasa. Dan saya harus menyadari bahwa apa yang dikatakan Pak Supardi kemarin-kemarin BENAR. “Kita hidup ini siap disuka dan siap dibenci.”
Saya pikir semua pekerjaan itu tidak ada yang sulit dan tidak ada yang mudah. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan, kemudahan dan kesulitannya masing-masing. Termasuk menjadi seorang pengajar. Yang mengabdikan diri sebagai seseorang yang memiliki niat untuk memberikan apa yang ditahu kepada peserta didik. Demi kelangsungan hidup pengajarnya juga demi masa depan peserta didik itu sendiri.
Seorang pengajar dalam melaksanakan proses belajar mengajar (PBM) membutuhkan sebuah metode mengajar, lebih-lebih penguasaan kelas yang baik, juga Interaksi antara pengajar dan anak didik pun harus selaras alias harus saling mendukung. Sehingga PBM akan berjalan dengan sangat baik dan mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.
Seorang pengajar dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada di dalam diri, selalu saja memiliki peserta didik yang disenangi dan tidak disenangi, tergantung sikap mereka sebagai peserta didik ke pengajar. Peserta didik pun memiliki sifat yang sama. Ada yang memiliki pengajar yang disenangi dan tidak disenangi. Entah karena sifat atau metode pembelajaran yang kurang menarik, atau apa saja yang mendukung faktor kesenangan dan ketidaksenangan tersebut.
Dan hari ini, saya benar-benar mengerti, “Kita hidup ini siap dibenci dan siap disuka.” Mengubah seseorang yang membenci kita untuk menyenangi kita pun tidak mungkin. Dan nampaknya kita membutuhkan kebijaksanaan diri untuk menghadapi hal yang demikian.
Terkhusus kepada seseorang yang telah memberikan saya pelajaran hidup hari ini, terima kasih banyak untuk perlakuannya. Semua yang terjadi di kelas hari ini menjadikan saya lebih dewasa dalam bersikap. Terima kasih banyak.
Teruntuk kalian di kelas, belajar yang baik dan sepandai apapun kamu, ketika akhlak kalian tidak baik, maka hasilnya pun akan menjadi nol. Saya yakin kalian adalah mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi di dalam bidang intelektual maupun spiritual. 🙂
Saya tahu, tidak ada yang salah dengan memiliki keinginan punya HP baru yang canggih. Punya motor keren seperti teman. Pengin nonton konser, pengin jalan-jalan, pengin tas, baju, sepatu, dan semua keinginan lainnya. My dear anggota page yang masih remaja dan usia sekolah, tentu saja boleh kepengin hal-hal tersebut.
Nah, yang tidak boleh, jangan sampai kita menambah beban pikiran orang tua. Merajuk, marah2, boikot, dsbgnya. Boleh jadi, tanpa kita tambahi dengan permintaan, boleh jadi loh, setiap malam mereka sudah menghela nafas panjang memikirkan kita–meski kita tidak tahu. Toh, terkadang keinginan kita hanya ingin saja, tidak banyak manfaatnya, kecuali untuk keren-kerenan.
Jadilah selalu remaja yang bisa meringankan beban orang tua. Dan cara tercepatnya tidak perlu ikut bekerja, mencari uang sendiri; dengan terus belajar yang giat, sekolah yang sungguh2, kita sudah membantu banyak.
–Tere Lije
Pernyataan di atas tersebut merupakan salah satu status yang dibuat oleh Bang Tere Liye di Facebooknya. Saya selalu antusias membaca setiap status yang diupdatenya. Selalu menginspirasi. Apalagi tentang cinta. Ahaide. 🙂
Iya. Ini bahasannya tentang orang tua dan anak.
Benar sekali apa yang ditulis oleh Bang Tere Liye. Dengan terus belajar yang giat, sekolah yang sungguh-sungguh, kita sudah membantu banyak.
Pernah tidak melihat ataupun menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika orang tua kita bertemu dengan keluarga atau teman sejawatnya dan ketika mereka membahas tentang perkembangan anak-anak mereka. Mulailah pembahasan tentang keunggulan dan kekurangan yang ada pada anak mereka.
google.com
Mata orang tua kita mulai berbinar, senyum mereka mulai mengembang, dan semangat mereka bangkit. Iya. Ketika mulai membeberkan betapa hebatnya anak-anak mereka kepada orang-orang. Utamanya ketika pembicaraan menjurus ke arah pendidikan.
Dengan apapun itu, mereka bersedia memutar otak bagaimana caranya agar kita terfasilitasi pada masa studi yang ditempuh. Rela berkorban mengeluarkan uang berapapun jumlahnya. Iya. Demi anak. Demi pendidikannya.
Betapa besar kepercayaan mereka kepada anak-anaknya terhadap dunia pendidikan yang ditempuh. Di sinilah proses pembelajaran anak terhadap diri sendiri dan orang lain. Bagaimana caranya belajar bertanggung jawab untuk masa depan.
Dan ketika kita telah berhasil membawa diri di tingkat pendidikan yang baik. Lihatlah tangis haru dan senyum merekah mereka.
Yang namanya masih status pelajar, tugas kita ya belajar. Yang baik dan benar. Belajar itu pada hakekatnya terjadi perubahan ke arah yang positif. Bukan ke arah yang negatif. Berusaha dulu berbakti kepada orang tua. Walau harus diakui, saya juga pernah merasa jengkel dan marah kepada mereka hanya karena keinginan saya yang tidak dipenuhi akan sesuatu hal. Tapi, yah. Namanya juga masih anak-anak dan emosi masih membuncah. Ya sudah, marah-marah sendiri. Tidak jelas. Besok-besoknya, tidak lagi.
Olehnya itu, kita harus SEMANGAT… Yakin bahwa kita bisa menjadi anak papa dan mama yang baik. Insya Allah. Dengan usaha dan pengorbanan yang setara untuk prestasi yang akan kita ukir nantinya. Iya. Untuk mereka berdua. 🙂 Aamiin…
*Allah, masih terlalu banyak dosa saya terhadap orang tua. :'( Semoga usaha saya untuk membanggakan mereka bisa meringankan sedikit tentang dosa yang pernah saya buat kepada mereka di mataMu. Karena saya masih belajar menjadi yang baik. Aamiin.
Pengen seperti burung yang terbang bebas di angkasa.
Bisa ke mana aja. Semau dia. Bebas.
Mau ke utara kek, selatan, barat, timur. Seluruh penjuru mata angin bisa dilalui dengan mudah. Bebas hambatan. Siapa yang mau menghalangi? Gak ada. Terkecuali burung pecicilan yang mau ngegangguin dia. 😀
Hidup hiduuuppp.
So sweet banget sih lo. Bisa buat orang UP and DOWN.
Senang dan susah. Bahagia dan sedih. Kayak tarik tambang gitu. -___-”
Begini nih. Kalau sudah ada masalah, segala aspek dalam kehidupan sekitar saya ikut terlibat. Gak bisa diatasin. Saya seharusnya lebih DEWASA untuk menyikapi hal ini semua. Dituntut MANDIRI dan BERTANGGUNG JAWAB akan hal-hal yang terjadi dan akan terjadi pada diri saya sendiri. Yang pada kenyataannya, sepertinya belum mencapai titik kesempurnaan. OMG. Sampai kapan coba??? Sekarang udah umur 20-an. Hellooo??? Saya bukan lagi sebagai anak kecil rupanya. Hmmm… Harus bisa menimbang-nimbang dan memutuskan hal-hal yang baik untuk saya dan orang lain.
Kata Ayah saya, di umur kami yang sudah cukup dewasa ini, kami sudah cukup dinasehati ini itu. Sekarang tinggal memilih saja mana jalan yang baik untuk diri sendiri. *Addduhh, saya belum cukup dewasa kalau masalah ini. 🙁
Yang penting, saya harus yakin sama Allah dan orang tua saya. Kalau mereka memang yang terbaik. Apapun keputusannya saya ikhlas. For the sake of the happiness my parents. 🙂 Insya Allah. 🙂 Semoga Allah meridhoi. Aamiin…
Wuihhh, akhirnya saya bisa menyelesaikannya.
Membaca buku Totto-chan’s Children, A Goodwill Journey to the Children of the World. Ini buku udah dibeli dari bulan November 2011 kemarin dan saya baru selesai membacanya Agustus 2012 ini. -___-” Nda tahu berapa sesi saya harus berhenti, lalu membaca, berhenti, dan seterusnya. Tapi, gak apalah, yang penting udah finish dan saya bisa tahu apa sebenarnya yang terjadi di luar sana. That’s worse. :'(
Tentang Totto-chan’s Children. A Goodwill Journey to the Children of the World. By Tetsuko Kuroyanagi.
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Tebal: 328 halaman
Terbit: Maret 2011 (Cetakan Ketiga)
ISBN: 978-979-22-5998-8
Harga: Rp. 54.000,-
Buku karangan Tetsuko Kuroyanagi sebelumnya adalah Totto-chan Gadis Cilik di Jendela. Dari awal melihat reviewnya di blog Mbak Fanny, saya sudah mulai jatuh hati dan memiliki hasrat untuk membacanya. Ya, ini tentang anak-anak. Psikologi tentang anak. Bagaimana anak harus diperlakukan semestinya. Dan di buku kedua ini, tentang perjalanan Miss Kuroyanagi sebagai Duta Kemanusiaan UNICEF (1984 – 1997) yang berkunjung ke berbagai negara untuk melihat keadaan anak-anak di sana. Utamanya negara-negara korban perang ataupun kekeringan. Hmm… :'(
Di buku ini, Totto-chan’s Children, Miss Kuroyanagi memaparkan secara detail apa yang ia ingin sampaikan tentang semua keadaan di negara-negara yang ia kunjungi. Tanzania, Nigeria, India, Mozambik, Kamboja dan Vietnam, Angola, Banglades, Irak, Etiopia, Sudah, Rwanda, Haiti, dan Bosnia-Herzegovina.
Setiap lembaran, jarang untuk menemukan kesenangan yang terjadi pada anak-anak. Senang ya senang, tapi senang dalam penderitaan. Senyum kecil dan tawa mereka sarat akan kekuatan dan keinginan besar mereka untuk tetap hidup. Anak-anak korban perang. Anak-anak korban kemiskinan. Anak-anak korban kekeringan. Semua karena perang.
Hei, tahu tidak, perang itu tidak baik! Anak-anak yang jadi korban. Hingga harus menanggung gangguan psikologis, gizi buruk, kematian dengan jumlah besar tiap tahunnya. Ada yang harus kehilangan orang tuanya dan hidup sendiri. *Oh Noooo!!! I CAN’T!!! >.<
Buku ini menyadarkan saya, kalau ternyata masih ada keadaan yang lebih buruk di luar sana. Mereka kekurangan kasih sayang dari orang tua mereka, mereka kekurangan makanan dan minuman, tapi mereka masih bisa hidup. Sementara di sini, saya masih punya orang tua (alhamdulillah), masih bisa makan, minum. Air juga melimpah. Apa yang saya butuhkan selalu tersedia. Mereka di sana, bagaimana??? Mereka, anak-anak kecil itu, bahkan rela menjadi pelacur hanya untuk menghidupi keluarganya. Mereka bahkan harus siap mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan orang dewasa. Menjadi tentara, menjadi pengasuh seorang bayi yang rupanya mereka juga butuh kasih sayang dari seorang ibu. Anak-anak malang itu.
Melihat orang tua meninggal dengan tragis di depan mata mereka, meninggalkan luka yang sangat dalam. Bukan luka karena patah hati, tapi luka psikologis, yang membuat mereka berat untuk mengembangkan senyum manis mereka. Mereka cuma suka warna HITAM. Sampai kapan mereka harus menanggung penderitaan itu? Ini semua karena PERANG. Ranjau darat yang tersebar di mana-mana dan orang dewasa yang ingin menyelamatkan diri harus menjadikan anak-anak yatim piatu menjadi pendeteksinya. Resiko terbesar, jika menginjak ranjau itu, MATI. Mereka mati dalam kesia-siaan. Mereka hidup hanya untuk menanggung betapa sakitnya kehidupan di dunia ini. Tapi, saya suka sama semangat hidup anak-anak itu, Dalam kekacauan yang terjadi di negara mereka, semangat itu tidak pernah pudar. Mereka bersemangat menatap masa depan tanpa putus asa.
Miss Kuroyanagi sangat mencintai dunia anak-anak dan cerita inilah sebagai bukti cintanya yang memperlihatkan kepada dunia bahwa masih ada anak-anak yang bahagia dan berjuang hidup dalam gelapnya dunia. Dan ia sebagai Duta Kemanusiaan UNICEF berhasil memberikan segenggam harapan dan senyuman untuk setiap anak yang ia kunjungi. 🙂
Miss Kuroyanagi, I hope one day I can meet you. Amin. 🙂