Posted in Life, Love

A Novel from Adhitya Mulya: Sabtu Bersama Bapak

Sabtu Bersama Bapak
Sabtu Bersama Bapak

“Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan…, tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama mereka.” (Adhitya Mulya, 2015 – Sabtu Bersama Bapak)

Well, perlu diakui, saya terlambat untuk membaca novel ini dan menulisnya di blog. Pasalnya, filmnya udah duluan ditonton daripada novelnya yang harusnya dibaca terlebih dahulu. Ya udahlah, kata Prof.nya, hidup tidak mesti idealis, harus realistis. *mengutip salah satu status senior di Facebook. 🙂

As we know, novel ini bercerita tentang cara seorang Bapak, Gunawan Garnida, yang menyiapkan rekaman video-video dirinya berupa cara pandang dan pemikirannya tentang hidup yang harus dijalani dengan baik oleh kedua anak lelakinya, si Sulung Satya dan si bungsu Cakra (Saka). Hal ini dilakukan karena Pak Gunawan mengidap penyakit kanker dan divonis bahwa hidupnya tidak akan lama, selama 1 tahun lagi. Pak Gunawan tidak ingin ibu Itje Garnida, istrinya, membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran sosok ayah di tengah-tengah mereka. Sehingga, di setiap hari Sabtu sore, Satya dan Cakra selalu menonton video-video Bapak.

Ibu Itje Garnida merawat kedua anaknya hingga Satya dan Cakra tumbuh menjadi sosok lelaki yang dewasa. Mereka hidup dengan mapan dengan masalah hidup yang berbeda-beda. Ibu Itje Garnida, sang pekerja keras hingga akhirnya memiliki delapan rumah makan selama belasan tahun, namun menyembunyikan penyakit kanker payudaranya pada anak-anaknya karena Ibu Itje tidak mau menjadi beban bagi kedua putranya.

Kemudian, Satya yang bekerja di salah satu kilang minyak di luar negeri sebagai geophysicist. Merupakan suami dari Rissa Wiriaatmadja dan ayah dari Ryan, Miku, dan Dani. Dalam kehidupan rumah tangganya, Satya menjadi sosok ayah pemarah di mata istri dan ketiga anaknya.

Lain lagi dengan Cakra, bekerja sebagai Deputy Director di sebuah bank asing yang berkantor di Jakarta. Sosok yang dewasa dalam pemikirannya dan selalu care sama ibunya, namun tidak kunjung mendapatkan jodoh, hingga kemudian Cakra bertemu dengan Ayu, staf baru di tempat ia bekerja. Sayangnya, Salman, teman kerjanya, menjadi pesaingnya untuk menaklukan hati Ayu. 😀

Untuk ending ceritanya, sudah diketahui bahwa ini akan happy ending. Senang sekali membaca kisah cinta dua lelaki ini. Berhasil buat senyum-senyum sendiri. Hahaha.

Thank you, Mas Adhitya. You give me many life lessons from your novel. Saya izin ngutip beberapa ya, Mas Adhitya. 🙂

“Bukan berarti seseorang harus kaya dulu sebelum nikah. Tapi kalian harus punya rencana. Punya persiapan. …. Menikah itu banyak tanggung jawabnya. Rencanakan. Rencanakan untuk kalian. Rencanakan untuk anak-anak kalian.” (hal. 21)

“Ada orang yang merugikan orang lain. Ada orang yang merugikan keluarga yang menyayangi mereka. Ada orang yang hanya merugikan diri sendiri. Ada orang yang berguna untuk diri sendiri. Ada orang yang berhasil menjadi berguna untuk keluarganya. Terakhir adalah orang-orang yang berguna bagi orang lain. Bapak tidak cukup lama untuk menjadi golongan terakhir. … semoga kalian dapat menjadi orang-orang yang lebih baik dari Bapak.” (hal. 86)

“Semua anak wajib menjadi baik dan pintar karena memang itu yang sebaiknya semua manusia lakukan.” (hal. 105)

“Menjadi panutan bukan tugas anak sulung –  kepada adik-adiknya. Menjadi panutan adalah tugas orangtua – untuk semua anak.” (hal. 106)

“…ketika kalian udah gede akan ada masanya kalian harus melawan orang. Yang lebih besar, lebih kuat dari kalian. Dan akan ada masanya, kalian gak punya pilihan lain selain melawan, dan menang. Akan datang juga … masanya semua orang tidak akan membiarkan kalian menang. Jadi, kalian harus pintar. Kalian harus kuat. Kalian harus bisa berdiri dan menang dengan kaki-kaki sendiri.” (hal. 130 – 131)

“Kejar mimpi kalian. Rencanakan. Kerjakan. Kasih deadline.” (hal. 151 – 152)

“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. …. Find someone complimentary, not supplementary (Quote dari Oprah Winfrey).” (hal. 217)

Perlu diakui, cerita di novelnya lebih lengkap dibandingkan dengan di filmnya. Rasanya setelah membaca novel ini, saya seperti menemukan kebenaran dari sebuah film yang diangkat dari sebuah novel tersebut. 😀 Bukan menganggap alur cerita yang difilmkan tidak bagus ya. Perlu dipahami, banyak hal-hal yang mesti dipertimbangkan ketika alur cerita di novel harus tidak disamakan dengan filmnya atau jika perlu alur cerita di filmnya harus diubah, tidak sesuai dengan di novel. Hal ini bertujuan agar menjadikan filmnya lebih awesome, tanpa mengurangi value dari novel tersebut. Overall, novel dan filmnya sama-sama bagus. 🙂

Novel ini mengingatkan kembali akan satu hal, bahwa betapa orangtua sangat mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Hingga mereka tidak bakalan mau melihat anaknya hidup menderita ke depannya. Orang tua rela berkorban dengan sangat ikhlas demi kehidupan anaknya yang lebih baik, hingga tumbuh menjadi anak yang membanggakan orangtua. Teringat kata-kata dari orang, orang tua mana sih yang tidak mau memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mas Adhitya, novelnya sarat arti dari keluarga. :’) Let me keep this book for my children later. Hehehe.

Bagi yang belum membaca novel ini, tapi udah keduluan nonton filmnya, saya sarankan untuk baca novelnya deh. Kita akan menemukan kebenaran yang sebenarnya pada novelnya. Tentunya, pelajaran arti dari keluarga dan kebijaksanaan hidup dari Bapak yang lebih banyak tertuang di novelnya.

Ok. I have done to review this novel. I hope you enjoy it. Happy reading, readers! :* 🙂

*FYI. Saya lebih suka cover aslinya sebelum difilmkan daripada cover sesudah difilmkan. Menurut saya, cover pertama lebih natural. It looks like a novel, just a novel, not a film. Bulan Juli 2016 kemarin, dibela-belain keliling di toko-toko buku Makassar, dari Graha Media di M Tos, Gramedia di MP dan MARI, hingga toko-toko buku di Jalan Bulu Kunyi. Sendirian. Demi mencari novel dengan cover pertamanya *terlalu semangat ko, Ning. And you know? Hasilnya nihil. Novel dengan cover pertamanya udah gak keliatan, kebanyakan cover filmnya. Hopeless. Hingga tibalah Oktober ini, I found what I look for di salah satu toko alat tulis kantor di sekitar Jalan Perintis that I didn’t think it before, the novel with its first cover. Memang ya, kalau jodoh gak kemana. Sejauh apapun itu, selama apapun itu, kalau jodoh bakalan ketemu juga. Hehehe. Thanks, Allah. Alhamdulillah.

Posted in Life, Love

Because I Believe You, Allah

Ada sesuatu yang terus mengganggu
Entah kapan akan berhenti
Berakhir
Di ujung keikhlasan hati untuk melepaskan
Atau menerimanya dengan saling menggenggam tangan
Untuk tidak berpisah hingga Allah hendak mengambil apa yang menjadi milikNya

source: 1-flesh.tumblr.com
source: 1-flesh.tumblr.com

Hati dan kabar burung itu seolah saling berkompetisi mempertahankan eksistensinya
Pada jiwa yang hampir rapuh
Tidak menyenangkan berada di antara kedua kondisi itu
Namun, keberadaan Allah akan janjiNya membuat perasaan ini hampir seperti batu
Kokoh pada kepercayaan atas apa yang telah dikatakanNya
Bersama dia ataupun tidak untuk bersama

Ya, semua kembali pada diri
Sejauh mana memperbaiki diri untuk baik di mata Allah
Hingga akhirnya Allah menghadiahkan anugerah asmaraNya
Yang membuat diri tidak bisa berkata apa-apa
Selain bersyukur kepadaNya
Sang Maha Penentu Pasangan Hidup
Engkau Maha Besar, ya Allah

Let me adore You through this writing on this blog
This is not one of ways to attract Your attention to give me what I want
This is what I want to say on my personal blog
I don’t care with many readers who read this note

I can not save this by myself
Even I don’t say it to You directly, I am sure You must know what the best thing for me
Thanks, Allah
Thanks for everything
However, I am totally still failed to obey Your exam.
I am still too sinful to be your Ummat.

Posted in Blog, Friend, Life, Love, Uncategorized

Milea: Suara dari Dilan

21998

“Kata Pidi Baiq, perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. Iya, rindu amat teramat sangat. Rindu ada Dilan dan Milea saja. Perpisahan itu, dapat menyedihkan atau bisa jadi menyenangkan. Namun, dari sudut pandang saya, novel ini membuat perpisahan menjadi sesuatu hal yang sangat disayangkan untuk dijadikan sebuah kenyataan yang harus dilewati oleh dua orang tokoh utama, Dilan dan Milea. Perpisahan yang harusnya jangan terjadi.”

Novel Milea: Suara dari Dilan ini adalah karya lanjutan Pidi Baiq dari Novel Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990 dan Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991. Jadi, sebelum membaca novel ini, sebaiknya teman-teman membaca Novel Dilan #1 dan #2 terlebih dahulu agar lebih afdol mengetahui alur ceritanya.

Jika dua novel sebelumnya merupakan kisah Dilan dan Milea dari sudut pandang Milea. Maka, novel ini berasal dari sudut pandang Dilan tentang bagaimana pemikiran Dilan terhadap dirinya dan Milea yang berbeda satu sama lain hingga menimbulkan kesimpulan kehidupan mereka yang pada akhirnya membuat saya menangis (lagi) di akhir lembaran cerita novel ini. *Tersentuh, Bang Pidi Baiq. :’(

FYI, sekilas dari novel ini. Terdiri dari 20 bab. Hampir semua para tokohnya pun masih sama (kalau tidak salah ingat) seperti kedua novel sebelumnya. Namun, ada sedikit penambahan tokoh baru untuk kisah asmara Dilan dan Milea yang baru. Hmm. Bandung, Jakarta dan Jogja merupakan daerah-daerah yang menjadi latar belakang tempat dalam novel ini.

Milea rindu Dilan. Dilan rindu Milea. Kenapa tidak jadi sih, Bang Pidi Baiq? :’(

Bisa dibayangkan kan, merencanakan masa depan bersama orang yang kita pikir dia yang akan bersama-sama menjadi masa depan kita, dan di tengah jalan Tuhan memiliki skenario yang lain. Rasanya tuh JLEBBB bangettt. Tapi, yah namanya manusia, cuma bisa punya planning, Tuhan yang make it into a reality. Dan Dilan menyikapinya dengan bijaksana.
*Ah, novel ini lagi-lagi membuat saya termehek-mehek di tengah sunyi senyapnya gelap.

“Kata Dilan: Rasa sedih jika ada, itu harus berbatas untuk memberi peluang munculnya harapan pada hari-hari berikutnya, mengejar impian dan meraih kebahagiaan bersama seseorang yang dapat menghabiskan sisa hidup kita dengannya. … Rasa sedih dan kegagalan tidak selalu berarti kekalahan.” (Pidi Baiq, 2016, p. 356-357)

Sebagai kesimpulannya, novel ini adalah sebuah karya fiksi yang mengingatkan kembali bahwa sebaiknya menghindari su’udzon atau berpikiran negatif terhadap seseorang; ketika mendengar ada hal yang kurang berkenan di hati tentang orang yang kita sayangi, coba tanyakan langsung kepadanya agar tidak terjadi kesalahpahaman, walaupun memang rumit, antara gengsi dan sekedar saling menunggu inisiatif satu sama lain; selalu meminta maaf dan memberi ucapan terima kasih untuk orang yang menyayangi kita; dan selalu ingat, harapan terkadang tidak sesuai kenyataan, bro. Hehehe.

Judul: Milea: Suara dari Dilan
Penulis: Pidi Baiq
Cetakan: I, 2016
Penerbit: Pastel Books
360 hlm.; Ilust.: 20.5 cm
ISBN: 978-602-0851-56-3

Posted in Life, Love

Coretan untuk Hari Senin

Selamat Senin pagi, semuanya.

Hari ini lagi kangen sama menulis. Tapi masih belum ditahu topiknya ini bermanfaat atau tidak. Mengapa? Karena sifatnya tentang perasaan. Hehehe. Maklumlah, penulisnya cewek. Jadi, gimana ya, kayak ada baper-bapernya gitu. Maaf ya. Tulisannya ‘nyampah’ nih.

Oke. Dimulai dari pikiran yang terus-menerus berkutat sama yang namanya tesis, ujian hasil, ujian tutup, dan deadline pendaftaran wisuda. Harapannya sih semoga dapat wisuda September 2016. Tapi, belum ditahu ya, apakah bisa dikejar atau tidak. Namun, dari lubuk hati yang paling dalam, I DEEPLY WANT IT. Aameen. Aameen. Aameen.

Terlalu banyak underpressure yang diciptakan diri sendiri. Padahal kalau dari orang tua tidak terlalu menuntut ini itu. Tapi namanya anak kan, ada peka-pekanya juga. Hehe. Kalau masih bisa diusahakan sampai titik terakhir, ya why not.

Lama juga tidak menulis, akibatnya alur tulisan ini serasa amburadul. Soalnya belum dapat inspirasi yang WOW sih. It is OK. Agak (sok) sibuk akhir-akhir ini, jadi mohon dimaklumi saja ya.

Paragraf ini dimulai dengan gejolak pikiran antara tesis dan perasaan. Antara masa depan dan ‘masa depan’. Tidak jarang harus ada air mata yang menetes secara diam-diam. Entah ketika bersujud menghadapNya, waktu lagi bawa kendaraan atau lagi di dalam kamar. *tabongkar kartu AS. Hahaha. 😀 Jika diingat-ingat, seperti hendak tertawa yang kemudian tiba-tiba diam, hening. Dari kemarin-kemarin, hati saya terlalu sensitif, bisa dibilang sensitif lain-lain. 😀 Tiba-tiba bisa aja langsung nangis. Lihat sahabat nikah, nangis. Ketemu pak guru (ayah), nangis. Cuma di depan orang tua aja yang sok tegar, sok senyum manis, sok kuat, sok semuanya deh. Hehehe. Masalahnya kalau nangis di depan mereka, gimana yaa. Saya merasa tidak pantas. Sudah cukup nangisnya waktu kecil minta dibelikan ini itu, padahal saat itu lagi suasana krisis moneter. Ckckck. Maaf, Ma Pa. Kemarin masih bandel-bandelnya, masih main ego tingginya. Kalau sekarang, gak tahu deh. Hehehe.

Kemarin dan Sekarang itu adalah dua hal yang berbeda. Dari bentuk katanya saja sudah beda. Apalagi maknanya. Yang sama adalah pelakunya. Ya, saya. ‘Kemarin’ yang melakoninya adalah saya, dan ‘Sekarang’ masih saya juga. Terlalu banyak hal yang mau diadukan, terlalu banyak yang mau dikeluhkan, dan terlalu banyak yang mau diceritakan dalam tulisan ini. Ya sudahlah, mungkin masih kurang pantas untuk merangkai isi kalimatnya di sini. Mungkin lebih bagus dibiarkan berceceran menjadi kepingan-kepingan puisi atau sepenggal kalimat galau anti baper. 😀

Yang intinya itu, Ning. Harus semangat!!! Kata Prof. Hakim, ‘Semangat dulu yang harus disemangati.

Saya tidak menyalahkan keadaan. Kesendirian bukan hukuman, melainkan persiapan. Untuk membenahi diri, kata orang supaya jadi lebih baik. Katanya begitu. Terus, kata Om, saya tidak boleh mengecewakan orang tua (nasehatnya seperti ada pahit dan manisnya e). Saya sih, in sha Allah, Om. Tapi kayaknya sudah banyak tingkah laku saya yang sudah membuat mereka kecewa. Tapi, mungkin tidak terdeteksi saja. Sebaik apapun saya sebagai anak, tidak bakalan mampu mengganti kebaikan orang tua selama membesarkan saya hingga jadi anak yang begini. 😀

Mau cerita tentang perasaan. Ehm. Iya, perasaan. Tapi, ini arah-arahnya bakalan tidak sempat deh. Pesona orang tua masih terlalu dominan untuk tidak disisihkan. Bukan pencitraan ya, readers. Cuma gimana ya. Kita semua tahulah rasanya sebagai anak yang sedikit sadar tentang siapa diri kita yang menaruh penuh hormat dan sayang kepada mereka, orang tua kita. Jadi, saya tidak perlu berkomentar kiri kanan. Menceritakannya pun saya bisa saja menjadi speechless. Lagian, saya belum menjadi anak baik seutuhnya. Masih belajar juga dan bakalan berproses terus, mudah-mudahan berprosesnya menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Aamiin.

Sehat-sehat, Ma Pa.

*IMLC, Ma Pa. 😀

*singkatannya wa WiNNy untuk titik titik. 😀

Posted in Blog, Friend, Life

Pagi, Ramadhan!

Kita memiliki kehidupan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Olehnya itu, rezeki, jodoh dan kematian yang Allah kasih akan berbeda-beda pula kuantitas dan kualitasnya.
Berbeda bukan berarti Allah berdiskriminasi.
Berbeda karena Allah tahu yang terbaik untuk hambaNya yang bertakwa.

Pagi yang tenang. Iya, cerah karena cuacanya tidak mendung. Duduk di sebuah bangku panjang bersama teman seperjuangan. Masing-masing di hadapan laptop dengan kepentingan yang berbeda. Teman saya sibuk mempersiapkan dirinya untuk ujian seminar proposal tanggal 22 Juni ini dan saya sibuk menulis tulisan ini. Tidak sempat bangun sahur karena bangun kepagian dan tidur terlalu malam, tidak menjadi halangan untuk tetap berkonsentrasi dengan apa yang ada di depan mata.

Sedikit menghilangkan penat dari proses pengerjaan hasil penelitian yang belum selesai di mana besok adalah jadwal bimbingan. Rasanya saya terlalu selllooowww sekali… -___- Berharap dapat wisuda September ini, tapi usahanya segini. Mana bisa. Tapi, saya harus yakin, in sya Allah bisa ujian hasil dalam waktu dekat dan dapat wisuda September ini. Yakin, positif, usaha, dan berdoa. Kenapa? Karena kalau saya terlanjur bilang “tidak bisa kejar wisuda September”, itu adalah kesalahan terbesar. Tidak boleh pesimis, Ning. Jalan saja. Positif saja. Kalau dapat September, alhamdulillah. Kalau tidak dapat September, juga alhamdulillah. Jalan Allah itu lebih baik dari apa yang kamu rencanakan, Ning.

Oh iya, bulan Ramadhan ini rasanya beda. Kayak gimana ya… Ada senangnya, ada sedihnya juga. Di pikiran saya itu, “tesis, tesis, tesis, tesis.”  Melihat teman seangkatan yang mau wisuda tanggal 29 Juni ini dan yang sudah ujian hasil, rasanya seperti disindir diri sendiri, “kamu kapan, Ning?” Rasanya mau juga seperti mereka, tapi gimana. Saya usahanya minim. *Jangan dicontoh, readers. Memang betul, Usaha tidak mengkhianati hasil. Gimana gak minim, setelah sakit kemarin, saya seperti kurang cekatan, gercep, dan enerjik. 😀 *merasamu deh, Ning. Wkwkwk… Tekanan darah saya turun naik, readers. Kadang 80/60, 90/70, yaa main-main di situlah. Dan hal itu membuat orang tua saya sedikit panik. *Maafkan anakmu ini, Ma Pa. Mereka meminta saya untuk menjaga kondisi badan dengan banyak minum susu beruang, makan coto/konro, dan satu, TIDAK BEGADANG. Bagaimana bisa selesai ni proyek kalau tidak begadang, Ma Pa. Tapi, saya tidak menyalahkan mereka. No no no. Saya aja yang kurang pandai mengatur waktu dan diri. Gimana Allah mau kasih jodoh kalau saya masih begini. Eh, pembahasan jatuh ke situ lagi. Wkwkwkwk.

Ya, jalan orang memang berbeda. Saya dengan kehidupan saya, orang lain dengan kehidupannya sendiri. Mungkin kemarin saya terlalu menggebu-gebu memilikinya, tapi sekarang saya belajar untuk lebih memahami bahwa tidak selamanya hal yang menyenangkan yang kita dengar akan cepat terealisasi di depan mata. Iya, karena semuanya bisa saja terjadi, tapi waktunya tidak secepat apa yang kita inginkan. Tergantung cara kita mencintai Allah dan berusaha memperbaiki diri menjadi lebih baik, baik, dan baik lagi. 🙂

Posted in Life, Love

Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1991

Dilan 1991Dilan 1991

“Aku merasa sedih untuk apa yang hilang, tapi kupikir mungkin ada pelajaran yang bisa kita dapati dari situ. Masa lalu bukan untuk diperdebatkan, kukira itu sudah bagus.
Mari biarkan.” Milea Adnan Hussain – Dilan Bagian Kedua: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991
(Pidi Baiq, 2016, p. 342)

Judul: Dilan Bagian Kedua: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991
Penulis: Pidi Baiq
Cetakan: X, Februari 2016
Penerbit: Pastel Books, Bandung
Tebal: 344 halaman
ISBN: 978 – 602 – 7870 – 99 – 4

                Yaps, buku ini adalah lanjutan dari Dilan bagian pertama: Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990. Jika buku pertama mengisahkan masa-masa Dilan dan Milea bertemu, berkenalan dan berpacaran, maka buku kedua ini bercerita tentang saat-saat mereka telah resmi berpacaran. Cuma butuh beberapa jam untuk membacanya. Membunuh waktu melewati perjalanan panjang dari Makassar ke Baubau melalui udara dan lautan membuat buku ini begitu istimewa, seperti membuat momen spesial tersendiri untuk saya. Bukan tentang waktunya, tapi tempat saya menikmati bacaan ini. Alhamdulillah ya Allah.

                Oke, bercerita tentang isi buku ini, tentang bagaimana Dilan dan Milea menyatakan hubungan mereka secara resmi dan melewati masa-masa berpacaran yang penuh suka duka, mulai dari Dilan apel ke rumah Milea dengan membawa teman-temannya yang berhasil membuat Kang Adi (guru les Milea yang menyukai Milea) cemburu, pengeroyokan terhadap Dilan dari orang yang tak dikenal, teman kecil Milea (Yugo) yang datang kembali ke kehidupan Milea untuk menjalin hubungan dengannya yang pada akhirnya ada suatu kejadian yang membuat Milea membenci Yugo, keberanian Milea menyatakan hubungannya dengan Dilan di depan keluarganya sendiri dan keluarga Yugo, hingga Dilan yang akhirnya pindah sekolah karena diawali dari perkelahiannya dengan Anhar (teman SMA Dilan dan Milea) dan masalah ini berbuntut panjang hingga Dilan harus mendekam di dalam penjara atas perintah Ayah Dilan yang merupakan seorang tentara. Pada saat itulah, hubungan Dilan dan Milea menjadi sangat kritis. Dilan yang tidak suka dikekang oleh Milea dengan kegiatan geng motornya, sementara Milea yang bersikap mengekang Dilan karena takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan karena geng motor itu. Apa yang terjadi di akhir ceritanya? Let’s read this book. Atau sudah tahu endingnya? Pasti tahu endingnya setelah membaca paragraf berikut ini.

                Ah, buku ini membuat saya menangis lagi di akhir ceritanya. Saya baper, readers. Rasanya kayak gimana yaah. Sudah menambatkan hati pada orang yang kita sayangi dan tidak bersatu itu, rasanya seperti menyesal memiliki perasaan yang sepenuhnya cinta kepada seseorang itu. Tapi, life must go on. Kita juga berhak bahagia dan berhak membangun kehidupan yang baru walaupun rasanya tidak sama seperti yang kemarin. Memang pada awalnya mungkin menyesal tapi dengan penerimaan yang ikhlas, semuanya akan berjalan normal kembali (dengan jangka waktu yang tak ditentukan). Dalam setiap proses menjadi manusia yang lebih baik, pasti ada peristiwa dan pelajaran hidup yang dialami.

                Kalau saja tidak pacaran, pasti tidak ada rasa menyesal. Cinta itu datangnya kan dari Allah, jalan untuk menyatukan cinta itu kan Allah telah tentukan dengan cara yang baik untuk umatNya. Yaa, pastinya bagi yang mengerti, bisa memahami dan melakukannya menurut aturan Allah. Kalau saya sih kemarin cuma sekedar tahu, tapi belum memahami. Hehehe. Tapi sekarang, yaa berhubung usia sudah tidak muda lagi, jadi harus sadar-sadar sedikit, Ning, nah. 😀 Pahami, tidak hanya sekedar tahu saja. Ahaidee. Semangattt!!!

                Oh iya, kembali lagi ke Dilan. *Hampirmi kabur air lagi tulisanmu, Ning. 😀                Dilan, apa kabarmu sekarang? Milea sudah bersama yang lain. Kamu gimana? Membaca akhir ceritamu bersama Milea, saya kok sedih ya. Mas Pidi Baiq kok tega ya nulis cerita seperti ini. Endingnya gak enak. >.< Mas, saya sakit bacanya. Milea kan jadi sedih, sedangkan Dilan gak suka kalau Milea sedih. Hmm… Saya speechless, Mas. Saya benar-benar dibuat baper.

“Tujuan pacaran adalah untuk putus. Bisa karena menikah, bisa karena berpisah.”
(Pidi Baiq, 1972 – 2098)

Posted in Friend, Life, Love

Generasi 90an

Generasi 90an
Generasi 90an

“Generasi di mana imajinasi lebih mendominasi daripada teknologi.” (Marchella FP, 2013)

Judul Buku: Generasi 90an
Penulis: Marchella FP
Cetakan Kedua Maret 2013
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta
Tebal: 144 Halaman

Terbitnya buku Generasi 90-an ini menjadi ajang nostalgia buat orang-orang, khususnya yang pada saat itu masih berada di bangku SD, SMP dan SMA di tahun 90-an, termasuk saya. 😀

Well, seperti apa yang dikatakan Mbak Marchella, buku ini membahas tentang segala hiburan di era 90an, seperti musik, tontonan, mainan, tren, jajanan, bacaan dan lain-lain. Ketika membaca buku ini, saya udah langsung senyum-senyum aja. Hahaha. Lucu. Teringat kenangan masa lalu, masa kanak-kanak yang memang paling berharga sekali. Kemarin masih banyak hiburan-hiburan yang masih bersifat non-digital, masih banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dengan alam, dengan teman-teman secara LIVE. Sekarang mah, anak-anak mainnya gadget, layar gadget terus yang diliatin. Itupun kalau kumpul sama teman-teman, gadgetnya yang diperhatikan, banyakan liat gadget daripada ngobrol sama teman, rata-rata sih gitu. 😀 Terlepas dari itu, buku ini menjadi salah satu sumber pembawa kenangan manis untuk kita yang ‘beredar’ di sekitaran tahun 1990-1999.

Buku yang berukuran 20 cm x 20 cm dan full color menambah semaraknya momen tahun 90-an itu. Saya waktu membaca buku ini, dari awal sampai akhir senyum terus, sedikit-sedikit ketawa. Yaa, kenangannya terlalu manis. Saya betul-betul menikmati masa-masa itu. Alhamdulillah. Masa kecilnya bahagia. Masih ingat dengan Majalah Bobo, Baju-Baju (BP-BP-an), Trio Kwek-Kwek, dan banyak lagi lainnya. Makasih, Mbak Marchella, udah menyelamatkan segala momen-momen itu di buku ini. Kenangannya tidak dapat diganti dengan apapun.

So, bagi yang ingin mau bernostalgia dengan masa 90-an, buku ini bisa menjadi salah satu rekomendasi untuk mengenang dan menyimpan kenangannya. Eeaa…

I’m proud of being Generasi 90an. 😀

Posted in Life, Love

Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990

Dilan, Dia Adalah Dilanky Tahun 1990
Dilan, Dia Adalah Dilanky Tahun 1990

“Dilan mungkin tidak paham dengan teori bagaimana seorang lelaki harus memperlakukan wanita, tapi apa yang dia lakukan selalu bisa membuat aku merasa istimewa dan lain daripada yang lain. Menjadi wanita yang paling indah yang pernah kurasakan. Tanpa perlu berlebihan bagi dia untuk membuat aku merasa lebih.
Milea Adnan Hussain”
(Pidi Baiq, 2015, p. 273)

Judul Buku: Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990
Penulis: Pidi Baiq
Cetakan XX, Desember 2015
Penerbit: Pastel Books, Bandung
Tebal: 348 Halaman

Hi, Dilan! Boleh berkenalan denganmu? Saya penasaran bagaimana rupanya kamu. Saya penasaran bagaimana kamu memperlakukan Milea dengan cara yang unik. Kamu tahu tidak? Kamu sosok pribadi yang menyenangkan, walaupun memang agak aneh. Humoris juga. Bagus lah. Mas Pidi Baiq pintar ya, udah nyiptain karakter kayak kamu, Dilan. Semoga Dilan dan Milea bahagia terus.

Yaps. Buku ini menceritakan tentang kisah cinta antara Dilan dan Milea dengan latar belakang Kota Bandung di tahun 1990. Kisah cinta anak SMA yang tidak seperti biasa tapi tidak membosankan, lucu, dan yaa ini tidak mengalaykan. 😀 Memang, ini Cuma sebuah fiksi, tapi kok rasa-rasanya saya penasaran sama sosok Dilan ya? Hehehe. Mudah-mudahan buku ini bisa difilmkan, yaa walaupun memang this is just a fiction. Melihat sosok Dilan yang nyata itu kayaknya lebih klop aja. Tapi ya sudahlah, Dilan will be always Dilan dalam sebuah buku Dilan, dia adalah Dilanku tahun 1990.

Menulis tentang buku ini bukan berarti saya modus ya. *ge-ermu, Ning e.* No. Saya cuma senang aja membaca buku ini. Bukunya gak menye-menye gimanaa gitu. Yaa, eleganlah kalau saya bilang. Elegan kayak bagaimana itu eee??? 😀 Cara Mas Pidi Baiq yang menulis cerita cintanya yang begitu wow wow, khususnya tentang cara Dilan memperlakukan Milea. Ada satu testimoni di buku ini, di situ @Rafodumeda bilang: “Ajaib, sepertinya ini bukan novel, tapi buku taktik menguasai wanita.” Tidak berusaha melebaikan, tapi this is about how I feel to this book. Bagi teman-teman yang mau baca, nantilah beli bukunya terus dibaca dan dinikmati alur ceritanya.

Selamat, Dilan. You are successful to steal my heart in this story. 😀

“Kekuatan cinta tak bisa cukup diandalkan. Untuk bisa mengatakannya, ada kebebasan bicara, tetapi keberanian adalah segalanya.” Pidi Baiq (1972 – 2098)

Posted in Friend, Life

Nokia 6030 dan Nokia E63

Nokia E63 dan 6030
Nokia E63 dan 6030

Hallo, Nokia! Apa kabar? Trima kasih telah menemani saya selama ini. Walaupun termasuk Handphone ‘kemarin’, kamu telah berjasa banyak sekali. :), yaa khususnya sebagai pembawa nostalgia di masa-masa SMP kelas 3 hingga kuliah saat ini.

Postingan kali ini membahas tentang HP Nokia 6030 dan E63 saya. Tujuannya adalah saya ingin bercerita tentang mereka. Walaupun hanya HP ‘kemarin’ dan hanya sebuah benda mati tapi jasa dan kenangannya tidak dapat mati. 🙂 Bukan hal yang istimewa sih, akan tetapi saya ingin membuatnya menjadi istimewa melalui catatan di blog ini. 🙂 *ngomong apa sih, Ning?

Kita mulai dari yang pertama. HP Nokia 6030. Ya, this is my first HP since I was in Junior High School, kelas 3. Kebetulan hari ini, 4 Mei 2016, dia genap berusia 10 tahun. Gak terasa aja nih, tahun 2006 kemarin dibeli dan saya masih memakainya. 😀 Bisa dibilang, HP ini cukup tahan lama lah. Udah gak bisa dihitung berapa kali jatuh dengan tidak sengaja dan atau keteledoran menaruh HP dengan posisi yang kurang baik. 😀 Saya masih menggunakan original case-nya, walaupun tulisan di atas keypadnya udah ‘kabur air’. Hal ini diakibatkan karena jari-jemari yang terlalu lincah mengirim SMS. 😀 Bentuknya yang kecil membuat HP ini dapat digenggam sepenuhnya sehingga terasa nyaman untuk digunakan.

Masih tersisa beberapa SMS dan catatan kecil zaman SMP, SMA dan S1 dulu di bagian MessagesSaved Items. Mulai dari do’a  masuk ruang ujian, notifikasi Mig33, SMS dari sahabat tentang cinta monyet dulu, lirik lagu anak IPSA (Ipa Satu) dari Abang Yoko, hingga list frekuensi radio yang ada di Kota Baubau. Membaca catatan-catatan itu kembali rupanya mengundang saya untuk senyum-senyum sendiri. Saya masih ingat di zaman SMA kelas 2, ketika pertama kalinya mengenal internet lewat HP. Kalau tidak salah, dulu yang ajarkan itu La Sahly. Dari dia juga chatting IRC dimulai. Awalnya chatting masih di sekitar kelas IPA 1 dulu, kemudian menyebar seantero teman-teman seangkatan di SMANSA. Waktu itu. Kalau diingat-ingat, kemarin kami gila skali yang namanya chatting. Udah sampai ada yang jadian gara-gara chatting. Ada beberapa teman, bukan saya. 😀 SMA SMA. Indah banget ya. 🙂 Akibat terlalu keseringan chatting, baterai HP saya bengkak, terpaksa ganti baterai yang non-original. Lewat Nokia ini juga, saya mulai mendownload ringtone berformat midi, dari yang beraroma lagu anak-anak, dangdut, pop Indonesia hingga mancanegara punya. Masih tersimpan hingga sekarang. Biasaa, mau dijadikan ringtone. Kasiannyami, masa ringtone nokia tune terus yang dipake. 😀

Pemakaian HP Nokia 6030 berhenti sejenak pada tanggal 8 Oktober 2010 karena pada saat itu saya membeli HP Nokia E63. Yaa, naik tingkatan sedikit. Sudah jadi anak kuliahan soalnya. Ada keinginan mengistirahatkan 6030, kasian udah lama juga dipake. Dua masa ini e, SMP dan SMA, ada sekitar 4 tahun lah. Lumayan.

Nokia E63. Sama seperti Nokia 6030, saya masih memakai original case warna hitam, tapi tulisan di atas keypadnya masih lumayan OK, tidak separah 6030. Sayangnya, sekarang kondisinya tidak ‘sesehat’ kemarin. Menyala beberapa menit, kemudian mati. Tinggal tunggu RIPnya saja ini kasian. Alhamdulillah kemarin data kontaknya masih bisa dibackup di Nokia PC Suite. Si layar besar yang udah banyak waktu istirahatnya. Padahal masih butuh kamu. 🙁

Secara pribadi, E63 ini punya kenangan tersendiri bagi saya. Beragam curhatan, rahasia, motivasi, cinta, dan amarah yang tertulis, entah ditujukan untuk saya atau seseorang, masih tersimpan dengan sangat baik. Kemarin. Sebelum diformat ulang beberapa kali. Ya, sangat terasa jelas perjalanannya. Beberapa pesan singkat yang saya anggap penting, tersimpan dengan baik. Kemarin. Namun, sekarang tidak ada satupun pesan yang tersimpan. Buktinya telah hilang, tapi kenangannya tidak akan hilang dalam ingatan. Saya menganggap bahwa HP ini sebagai pembelajaran bagi diri saya agar tidak lari dari kenyataan. Harus berani menghadapi segala masalah yang ada. Yaa, cukup Nokia E63 dan saya saja yang merasakan kenangan itu. 🙂

Berhubung Nokia E63 saya udah sakit-sakitan (jarang diaktifkan), maka Nokia 6030 kembali hadir menemani saya sekarang. Isi pesan singkat zaman SMP SMAnya masih ada, tapi provider selulernya berbeda. Ya, ini tentang kehidupan baru yang harus dijalani di atas kehidupan yang lama. Tidak melupakan, cuma ingin menjalani kehidupan yang lebih baik dari kemarin. 🙂

Well, itu aja yang ingin disharing. Bukan pamer ya. Ini kan cuma HP ‘kemarin’. Saya cuma ingin menshare kenangannya, bukan tentang kuantitasnya. 🙂 Thank you.

Posted in Friend, Life

Seminar Usul Penelitian di Akhir April

DSC06640edit

Allah memberikan salah satu hadiah terindahNya tanggal 28 April 2016 untuk saya, ujian seminar usul penelitian. Ya, dua minggu setelah 14 April kemarin. Alhamdulillah. Satu langkah telah terlewati untuk menuju tahap-tahap selanjutnya. Terima kasih untuk para gadis di foto ini yang telah meluangkan waktunya menghadiri seminar saya hingga selesai. 🙂 Semoga kita dapat berwisuda bersama-sama ya. Secepatnya lah kalau perlu. Aamiiin. 🙂

Alhamdulillah, alhamdulillah. Tahap awal yang rasanya sulit sekali untuk berada di titik ini. Namanya juga mahasiswa tingkat akhir, harus penuh dengan pengorbanan dan perjuangan. Kan datang ke Makassar untuk belajar, bukan to do nothing. Ya kan? Sulit karena memang kesalahan saya sendiri. Sebagai mahasiswa itu memang sudah harus menyiapkan diri tentang apa yang mau diteliti untuk di semester akhir nanti. Bukan pada saat sudah semester akhir baru memulai mencari-cari masalah penelitian. Akibatnya? Seperti saya. Yaa, terkesan agak sedikit terlambat karena waktu ujiannya  berada di penghujung April.

Hari-hari menjelang ujian, perasaan terasa tidak tenang, tidak bersemangat, galau dan segala hal negatif lainnya. Rasanya seperti belum siap saja. Syukurnya, masih ada teman-teman yang mau merangkul untuk jalan bersama-sama. Iya, Ucha, Kak Sahlim, Kak Asdar, dan Kak Satang. Sebelum menjelang hari ujian, kami latihan presentasi. It’s very helpful. Kami yang kadang berlakon secara bergantian sebagai pembimbing dan penguji, ada canda tawa di sela-sela latihan, dan banyak masukan saran dan kritikan yang diperoleh selama latihan. Semuanya memberikan kenangan tersendiri selama proses menuju ujian proposal. Kalau ujian hasil, kita latihan bareng lagi ya. Aamiin.

3373

Tiba di hari H, alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik. Thank you bantuannya, teman-teman. Kak Sahlim dan Echa yang udah repot-repot ngurus kue, Ucha yang sibuk urus makanan dan ngasih bantuan ke saya selama presentasi, Sofyan dan kak Fay yang udah ngangkat sedos air mineral, Eman yang udah pagi-pagi harus ke Holland ngambil roti, Riri yang udah repot jadi seksi dokumentasi, Dina yang udah bantu statistik di proposal. Oh iya, Kak Arni, Idha, Kak Satang, Desty, Aya, Inna, Kk Fitri, Ussy, Kak Deasy, Kk Yandri, Hikma, Kak Isra, Nila, Dian, Kiky, Kak Rossi dan Vivy yang stay sampai saya selesai seminar, juga Kak Asdar yang datang terlambat. Thank you thank you, gaes. Hehehe. Memiliki sahabat, teman seperjuangan seperti kalian itu rasanya gimana ya. Speechless dah. Thank you for supporting each other.

Walaupun masih banyak perbaikan sana-sini, saya masih harus tetap semangat. Ini belum akhir perjalanan. Masih awal, Ning. 🙂 Harus kuat. Tapi, sekuat-kuatnya Nining, tetap akan nangis juga. 😀 Gimana nggak menangis, selesai seminar, ada SMS dari Pak Sekprodi di Baubau, kata beliau, “SEMANGAT.” Langsung saya telpon beliau. Eh, tiba-tiba Beliau manggil Pak Pardi untuk bicara sama saya. Gimana gak terharu dan sedih. Kalau ingat wajah dan senyuman Pak Pardi selalu rasanya pengen nangis aja. Hati saya terlalu sensitif mungkin. Jadinya cengeng. Ning Ning. Senang sekali mendengar suara-suara riang dari ruangan prodi bahasa Inggris di sana, iya walaupun cuma berbicara dengan Pak Pardi, Pak Baharuddin Adu, Dianti, dan Iphank. Itu sudah hal yang lebih dari cukup dari mereka yang menyayangi saya. :’)

Terlepas dari semua hal di atas, ada dua sosok yang paling care terhadap saya. Mereka yang berdoa untuk keberhasilan saya di ujian ini, tapi tak terpublikasikan. Mereka  yang khawatir akan kegusaran saya menjelang hari ujian, tapi selalu dan tak pernah bosan memberi nasehat membangun untuk diri saya. Mereka yang masih mau berkorban untuk saya hingga mencapai di titik ini. Maaf, Ma Pa. Masih ujian proposal, itupun masih banyak yang harus direvisi. Mudah-mudahan bisa secepatnya diselesaikan dengan baik. Makasih, Ma Pa. :’)